Minggu, 10 Februari 2013

Enam Keasyikan yang Bisa Dinikmati di Selandia Baru


Berniat berlibur ke Selandia Baru? Hm...bayangkan pemandangan padang rumput hijau dan pegunungan yang memukau. Apalagi, beberapa lokasi di negara ini kerap menjadi lokasi syuting film berkat keindahan alamnya. Sebut saja, The Lord of the Rings dan Xena, The Princess Warrior.
Tapi ada banyak hal lain yang bisa dinikmati di negeri ini. Apa saja?

1. Rhythm and Vines Festival, Gisborne
Bayangkan diri Anda duduk di sebuah kebun anggur di lereng bukit dengan sebotol anggur lokal berkualitas tinggi, matahari yang bersinar cerah di sepanjang pantai, dan musik-musik yang bersemangat. Tiap menjelang tahun baru, Gisborne menggelar festival ini: Rhythm and Vines Festival, yang berlangsung tiga hari. Bermula dari melihat matahari terbit pada hari pertama tahun baru. Anda bisa mengeceknya di rhythmandvines.co.nz.

2. The Hillary Trail, West Aukland
Tempat ini dinamai sesuai namanya, yaitu Sir Edmund Hillary, pendaki pertama yang menaklukkan Everes. Tempat ini dibuka pada perayaan tahun kedua setelah kematiannya. Panjangnya kira-kira 70 km, empat hari kaki berjalan kaki dengan pemandangan semak-semak dan pantai di sepanjang pantai Auckland bagian barat. Termasuk pegunungan Waitakere dan pantai Anawhata, tempat yang disebut mendiang Hillary sebagai tempat paling indah di bumi.
Info selengkapnya bisa dilihat di newzealand.com/travel.

3. Te Waonui Forest Retreat, Franz Joseph
Bila Anda menyukai keindahan alam dengan fasilitas lengkap, Anda bisa singgap di hotel bintang lima ini, yang ramah lingkungan dan memiliki 100 kamar. Dibangun dari benda-benda material yang bisa didaur ulang dan berasal dari alam. Di sekitarnya Anda bisa menikmati keindahan suasana hutan. Hanya beberapa menit dari tempat ini, Anda juga bisa berjalan-jalan ke pantai barat South Island.
Kontak: +00 64 3 357 1919; scenichotelgroup.co.nz

4. Berkemah di Eastland
Barangkali anggaran Anda tidak memenuhi kalau menginap di hotel kelas bintang lima. Tak apa. Anda pun tetap bisa membawa kamar Anda ke suasana alam. Caranya? Berkemah di sekitar Eastland. Anda hanya butuh tenda atau campervan untuk berada di tempat paling indah di sini. Eastland yang berada di North Island ini adalah tempat terpencil namun indah. Begitu pula dengan Southern Scenic Route yang berada di South Island.
Informasi selengkapnya lihat di camping.org.nz. Mengenai Southern Scenic Route, lihat situs southernscenicroute.co.nz. Untuk menyewa campervan buka laman maui-rentals.com

5. Perjalanan Melihat Satwa Liar
Pariwisata Selandia Baru menawarkan konsep "The Small Five" dalam perjalanan melihat satwa liarnya. Apa saja lima hewan yang dimaksud? Kiwi, lumba-lumba hector, penguin bermata kuning, tuatara (semacam kadal), dan kea (semacam burung beo). Nah, kalau Anda belum pernah pergi ke habitat kiwi di Stewart Island, atau berenang dengan Teluk Porpoise sambil melihat lumba-lumba, Anda bisa mengambil alternatif perjalanan "The Small Five" ini.
Hubungi Discover the World (01737 218800; discover-the-world.co.uk)

6. Menikmati Air Panas di Coromandel
Lupakan soal menghabiskan isi kocek perjalanan Anda di sebuah spa mewah. Singgah ke tempat ini dan nikmati spa tanpa harus menguras dompet. Coromandel Peninsula terletak di North Island. Anda bisa menikmati pantai dengan air yang hangat. Anda bisa menggali kolam sendiri dan mengisinya dengan air hangat yang beruap. Tidak perlu bawa sekop, Anda bisa menyewanya di sana. Info lengkapnya di thecoromandel.com

Sumber: Tempo.com

Sabtu, 09 Februari 2013

Menikmati Keindahan Musim Gugur di Makam Dinasti Ming


Harus saya akui, salah satu momen terindah menikmati musim gugur adalah tatkala saya menyusuri kompleks makam para raja Dinasti Ming di barat laut Beijing, atau tepatnya di daerah Changping. Dikelilingi pegunungan Yanshan, pemakaman yang telah berumur kira-kira dua abad ini punya pemandangan indah dan mengagumkan.

Pemakaman ini dikelilingi pegunungan Yanshan.

Deretan pohon dengan dedaunan yang mulai memerah, dihiasi hamparan salju di beberapa sudut tembok, membuat saya tidak menyesal menyempatkan diri mampir ke tempat ini.

Seperti halnya Tembok Cina yang super luas, makam 13 raja ini tersebar di tanah seluas 120 kilometer persegi. Namun, cuma tiga makam yang dibuka untuk umum: Changling, Dingling dan Zhaoling. Harga tiket untuk masuk ke kompleks makam ini 60 yuan (Rp75 ribu).

Dari tiga makam ini, saya mendatangi makam Dingling. Makam ini adalah makam pertama yang dibuat untuk raja Zhu Yijun bersama dua permaisurinya. Hamparan taman dan patung batu pahatan berbagai macam bentuk (kura-kura dan naga). Bentuk bagian depan istana sekaligus makam berbentuk kotak, sedangkan di bagian belakangnya lingkaran. Kabarnya ini mengikuti filosofi Cina yang menganggap surga bundar sedangkan dunia berbentuk kotak.

Untuk melihat makam raja, ternyata kita harus memasuki istana bawah tanah. Melalui lorong dengan langit-langit tinggi yang juga terbuat dari batu, istana ini jauh dari kesan kelam. Walau tidak ada pulasan emas dan cat merah yang sering menjadi khas bangunan di Cina, ukiran-ukiran di batu marmer tetap menampilkan khas Tiongkok.

Barang-barang berharga milik kerajaan.

Sebelum menuju ruang peti raja diletakkan, saya melewati beberapa ruangan menampilkan tempat tidur marmer permaisuri dan berbagai barang berharga kerajaan seperti batu giok, mahkota raja yang terbuat dari emas hingga cawan tembikar tiga warna kerajaan. Dan, pengalaman yang agak unik adalah ketika memasuki aula sebelum ruang peti, semua orang melempar uang ke tengah ruangan.

Semua orang melempar uang ke tengah ruangan.

Sebenarnya, saya tidak mengerti kenapa orang melakukan hal seperti itu tetapi akhirnya saya pun mengikuti yang lain. Mudah-mudahan sih, lemparan koin ini untuk memancing banyak keberuntungan buat saya begitu keluar dari istana bawah tanah ini.

Ketika memasuki makam, tiga peti besar terjejer.

Dan, ketika memasuki makam, tiga peti besar terjejer. Yang melempar koin dan uang kertas semakin banyak. Wah, mungkin ini biar ketularan rezeki seperti raja kali ya. Saya bersama teman pun tidak mau kalah. Kami mengorek dompet dan melempar uang rupiah. Berharap rezeki rupiahnya juga berlimpah.

Berhubung musim gugur, pohon-pohon terlihat tinggal ranting.

Keluar dari makam, perut saya langsung mulas melihat pemandangan di sekeliling dinding makam. Berhubung musim gugur, pohon-pohon terlihat tinggal ranting. Namun, pohon-pohon ini terlihat seperti di lukisan ketika dipadukan dengan tanah di bukit yang berwarna-warni. Wajar jika di sepanjang dinding ini pun, banyak orang mengabadi pemandangan indah ini. Terutama saya yang tinggal di negara yang tidak pernah mengalami musim gugur.

Jumat, 08 Februari 2013

Berdandan Gila di Harajuku


Harajuku adalah pusat mode di Jepang. Berbeda dengan Paris, Milan, atau New York, fashion di Harajuku lebih ekspresif dan tidak kenal batas. Bagi wisatawan seperti saya saat berkunjung ke Tokyo, menyaksikan anak-anak muda Jepang berdandan gila di Harajuku wajib dilakukan.

Harajuku adalah sebuah area pusat perbelanjaan di Tokyo, terletak di antara dua wilayah terkenal lainnya, Shinjuku dan Shibuya. Toko-toko fashion ternama berdiri di lingkungan ini, di sekitar stasiun kereta Harajuku yang berada di jalur Yamanote.

Suasana yang selalu ramai pada hari Minggu.

Pusat fashion di Harajuku terutama bertaut di dua buah jalan, yaitu Takeshita dan Omotesando. Jalan Takeshita terkenal dengan toko-toko yang menjual berbagai pernik lucu, kostum bergaya gotik, hiphop, rock, dan gaya kasual. Sementara itu Omotesando dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang menjadi pusat toko-toko desainer kelas atas, seperti Chanel, Louis Vuitton, dan Prada.

Sejarah bermulanya Harajuku menjadi seperti sekarang dapat dilacak hingga masa setelah Perang Dunia II. Saat itu Jepang berada dalam penguasaan Sekutu. Di wilayah tersebut banyak tinggal tentara Amerika Serikat dan orang-orang Eropa. Akhirnya area tersebut menjadi semacam tempat berkumpulnya kaum muda dari berbagai bangsa.

Toko yang menjual berbagai busana aneh seperti ini banyak ditemukan di Harajuku.

Pada akhir tahun 1950-an Harajuku berkembang menjadi tempat tinggal para model, desainer, dan fotografer. Semakin lama wilayah ini berkembang dengan cara berbeda dari wilayah lain di sekitarnya dan menjadi pusat mode di Jepang seperti saat ini.

Tidak berarti semua orang ke Harajuku untuk berbelanja. Bagi saya yang bukan termasuk orang yang suka berbelanja, berkunjung ke Harajuku lebih berarti menyaksikan kultur generasi muda Jepang yang berkembang pada saat ini, yang bahkan sering ditiru oleh kaum muda di negara-negara lain.

Gadis-gadis berkostum di Harajuku.

Di Harajuku, terutama pada hari Minggu, Anda akan bertemu dengan kelompok-kelompok yang menggunakan berbagai kostum aneh. Ada yang berdandan gaya punk dengan warna-warna hitam, menggunakan rantai, kadang dengan rambut warna-warni. Ada pula kelompok ganguro, yaitu berdandan dengan cara menggelapkan kulit.

Salah satu lolita di Takeshita Street.

Ketika berkunjung ke Harajuku beberapa waktu lalu, saya bertemu beragam anak muda yang sedang bermain kostum. Ada yang meniru karakter fiksi dalam film kartun, komik, maupun dalam video game. Banyak yang berkostum seperti boneka dengan rok warna-warni mengembang dan rambut dicat pirang, sering disebut “lolita”.

Bahkan di Harajuku muncul juga subkultur berupa lolita gothic. Gaya ini menggabungkan antara gaya gotik era Victoria di Inggris yang dicirikan dengan busana warna hitam dan simbol-simbol seperti peti mati dan kelelawar dengan, misalnya, rok mengembang.

Pada hari Minggu area ini memang selalu penuh sesak. Begitu turun di stasiun, saya harus berdesakan dengan ribuan orang lainnya. Selain para penyuka fashion, lokasi ini juga banyak didatangi oleh wisatawan asing yang memang khusus ingin berfoto dengan anak-anak muda berkostum. Mereka pun biasanya akan dengan senang hati melayani permintaan untuk berfoto bersama.

Selain di Jl Harajuku, Jl Takeshita, dan Jl Omotesando, para remaja ini juga sering nongkrong di Jembatan Jingu, yaitu jembatan yang menghubungkan antara area Harajuku dengan taman di sekitar Kuil Meiji.

Selain untuk menonton remaja-remaja berkostum aneh dan berbelanja busana buatan desainer, Harajuku juga cocok dijadikan rujuan untuk membeli cenderamata. Tentu saja cenderamata yang dijual di sini terutama berupa pernak-pernik, miniatur karakter fiksi, serta pakaian yang saat itu menjadi tren di Jepang.

Setelah puas berfoto dengan para lolita Harajuku, saya menyempatkan juga pergi ke Meiji Jingu (kuil Meiji) yang berada di seberang. Kuil indah yang berada di tengah taman yang sangat luas ini sering dijadikan tempat upacara pernikahan tradisional Jepang pada hari Minggu.

Kamis, 07 Februari 2013

Bersantai di Indrayanti


Bila ada yang bertanya pantai apa di Yogyakarta yang paling populer saat ini, jawabannya mungkin sudah bukan Parangtritis lagi. Sambutlah primadona baru: Pantai Indrayanti.

Indrayanti bukanlah nama resmi pantai ini. Sesuai nama yang diberikan Pemerintah Kab Gunungkidul, nama resminya adalah Pantai Pulang Syawal. Lalu dari mana “Indrayanti” berasal? Rupanya, dari salah satu kafe terkenal yang terdapat di pantai itu.

Pasir putih Pantai Indrayanti mengundang wisatawan untuk bermain.

Apa yang membedakan Pantai Indrayanti dari pantai-pantai lain di Yogyakarta sehingga menjadi sangat populer? Pantai berpasir putih halus ini cukup panjang, sekitar 500 meter. Dengan pasir seperti itu, pantai ini sangat cocok untuk membawa keluarga. Topografi ini berbeda dengan banyak pantai lain di Gunungkidul yang justru menawarkan keindahan lain berupa karang-karang di bibir pantainya. Walaupun pantainya relatif panjang, lebar pantai termasuk pendek sehingga ketika air pasang area berpasir jadi semakin sempit.

Salah satu pilihan penginapan di Pantai Indrayanti.

Keunggulan lain? Tepi pantai dipenuhi oleh kafe-kafe dan restoran. Bagi sebagian orang, kondisi ini mungkin dianggap mengganggu karena merusak pemandangan yang alami. Namun bagi banyak orang lainnya, ini justru menyenangkan karena mereka dapat bersantai dengan nyaman di salah satu restoran sambil menikmati suara deburan ombak.

Adanya kafe-kafe semacam ini tentu mengingatkan saya akan pantai di Bali atau Lombok. Indrayanti mungkin masih menjadi satu-satunya pantai dengan kafe dan restoran karena di pantai-pantai lain biasanya hanya ada warung-warung tradisional yang didirikan oleh penduduk setempat.

Kafe-kafe pinggir pantai yang juga menyediakan peralatan olahraga air.

Pantai Indrayanti menawarkan pemandangan yang indah, dengan tebing karang tampak di sisi kiri. Ombaknya besar, ciri khas Samudera Hindia, jadi pengunjung harus berhati-hati. Anda bisa berselancar, bermain banana boat dan jet ski di sini.

Pantai Indrayanti yang termasuk pantai baru ini juga memiliki cukup banyak pilihan akomodasi. Beberapa penginapan bahkan terletak tepat di tepi pantai. Jangan mengharapkan resor mewah, kebanyakan berupa penginapan dengan fasilitas standar.

Pantai Somandeng berada tepat di sebelah Indrayanti

Walau tidak mewah, penginapan-penginapan tersebut cukup menyenangkan dan bersih. Harganya juga terjangkau. Lagipula, siapa sih yang memerlukan TV kabel atau bathtub dalam kamar, bila pantai berpasir putih dengan pemandangan menakjubkan hanya beberapa langkah dari kamar?

Indrayanti terletak sekitar 70 km dari pusat kota Yogyakarta, bisa dicapai melalui Jalan Yogya-Wonosari. Akan banyak petunjuk arah yang membantu Anda menemukannya. Tapi ingat, petunjuk jalan hanya tersedia bagi Pantai Pulang Syawal (yang merupakan nama resmi Indrayanti). Selamat bertualang!

Rabu, 06 Februari 2013

Menikmati Bandung Tanpa 'Factory Outlet'


Bandung sudah identik dengan tujuan wisata belanja baju, tas, sepatu serta aksesori murah. Bila Anda, seperti saya, ingin mencoba sesuatu yang lain dari Bandung — misalnya keindahan alam sekaligus keindahan budaya Sunda, berikut ini beberapa rekomendasi:

Rumah Stroberi
Terhampar di pegunungan Lembang yang masih hijau berudara sejuk, Rumah Stroberi adalah salah satu dari beberapa kebun stroberi yang menarik dikunjungi. Ketika saya mengintip tempat ini (setelah mengunjungi kebun lain namun sudah kehabisan), stroberi mereka mulai bertumbuhan. Perburuan stroberi saya pun membuahkan hasil.

Stroberi yang baru tumbuh.

Pengunjung harus membayar paket makan siang dan stroberi 600 gram seharga Rp120 ribu. Paket makan siangnya berupa nasi liwet untuk empat orang. Jika 600 gram stroberi terlalu sedikit buat Anda, silakan petik lebih tetapi ada biaya tambahan Rp2500 per ons. Saung dan meja lesehan di situ membuat saya dan teman semakin nyaman menikmati suasana.

Pose di depan Rumah Stroberi.

Rumah Stroberi
Jl. Cigugurgirang 145 Parongpong
Telp 022-91144247

The Valley
Dari Rumah Stoberi, saya menuju kawasan Dago Pakar untuk menikmati lanskap Bandung dari atas, sekaligus makan siang. Di kawasan ini terdapat banyak restoran yang posisinya sengaja menghadap lanskap Bandung — dan menawarkan pemandangan sungguh cantik bila kita datang pada malam hari.

Bandung dari Dago Atas

Saya memilih The Valley, salah satu restoran di Dago Pakar, dan menyantap gurame goreng, sambal tempe, dan karedok. Semilir angin gunung menambah kelezatan makanan khas Sunda ini.

The Valley
Jl. Lembah Pakar Timur 28 Dago Bandung.
Telp 022-2531052

Saung Angklung Udjo
Selepas makan, kami beranjak ke Saung Angklung Udjo untuk menikmati permainan angklung. Dengan motto alam dan kebudayaan dalam harmoni, suguhan berbagai pertunjukan kesenian (mulai dari pertunjukan wayang golek, tarian tradisional, permainan berbagai instrumen yang terbuat dari bambu termasuk angklung) memang jadi pilihan tepat.

Kursus kilat Angklung seluruh penonton.

Harga tiket untuk pertunjukan berdurasi 90 menit ini juga tidak terlalu mahal. Untuk penonton pribumi, di hari biasa, bukan akhir pekan Rp60 ribu. Sedangkan untuk orang asing, Rp100 ribu.

Angklung mini sebagai suvenir.

Yang agak bikin miris, dua pertiga penonton pertunjukan bambu Saung Angklung Udjo adalah warga asing. Padahal Saung Angklung Udjo sudah melanglang buana ke berbagai negara untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia ini. Tapi di negara sendiri, sedikit sekali warga yang rela mengapresiasi.

Selasa, 05 Februari 2013

Mereguk Kopi, Mengenang Tsunami


Bagi orang Aceh kopi bukan sekadar minuman. Kopi bagian dari budaya. Tidak heran bila banyak sekali kedai kopi di Aceh ramai pengunjung.

Walau sudah banyak kedai kopi modern yang menawarkan Wi-Fi gratis bagi pengunjung, kedai kopi tradisional Aceh tidak ditinggalkan pelanggan. Yang paling ramai dan terkenal di Aceh adalah kedai kopi Solong di daerah Ulee Kareeng.

Menyaring kopi Aceh harus diangkat tinggi-tinggi.

Ketika bekerja di Aceh pada 2006-2008, saya sangat sering nongkrong di kedai kopi Solong. Entah hanya karena iseng dengan teman-teman, mengantar tamu asing, bahkan rapat bersama para mitra kerja. Maka ketika berlibur bersama anak dan suami beberapa waktu lalu, tentu saja saya wajib berkunjung ke sini.
.
Solong masing seperti beberapa tahun yang lalu. Hanya saja, bagian belakang kedai ini makin besar. Asap rokok mengepul dari meja-meja yang dipenuhi pengunjung. Saya memesan sanger alias kopi susu, minuman favorit saya.

Kopi di sini, menurut saya, luar biasa enak. Kopi Aceh tidak dapat langsung diseduh. Kopi bubuk harus direbus terlebih dahulu, kemudian disaring menggunakan saringan kain. Cara menyaringnya pun unik, yaitu dengan mengangkat saringan kain tinggi-tinggi. Jangan dikira itu atraksi belaka, menyaring demikian akan mengurangi rasa masam pada kopi.

Kopi di Solong ini sangat pas ditemani berbagai kue tradisional Aceh, seperti timpan, pulut, ketan srikaya, maupun kue jala.

Selesai minum kopi di Solong, kami melangkahkan kaki ke daerah Lampulo, untuk menengok sebuah kapal yang dihempas gelombang tsunami ke atas atap sebuah rumah.

Kapal yang berada di atas atap rumah.

Pilar-pilar sudah dibangun untuk menjaga agar tembok rumah di bawah kapal tidak runtuh. Tak ada ongkos masuk ke kompleks ini. Hanya ada sebuah kotak amal — yang berisikan lumayan banyak uang ringgit Malaysia.

Selain ke Lampulo, kami juga mengunjungi Lhok Nga, salah satu daerah yang paling parah terkena dampak tsunami. Kini pantai paling populer di Banda Aceh ini ramai dengan warung-warung di tepi pantai. Sisa tsunami sudah tidak tampak lagi — kecuali kuburan massal yang terletak di pinggir jalan.

Warung-warung di pinggir Pantai Lhok Nga.

Lampuuk menjadi tujuan saya berikutnya. Anda mungkin masih ingat dengan gambar sebuah masjid putih yang masih berdiri tegak, sementara di sekitarnya telah rata oleh tanah? Itulah Masjid Rahmatullah di Lampuuk.

Masjid Lampuuk sekarang telah direnovasi dengan bantuan Pemerintah Turki. Satu dinding yang roboh dan retak akibat tsunami disisakan sebagai kenangan.

Salah satu dinding di Masjid Rahmatullah Lampuuk yang diterjang tsunami.

Kurang lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh tanpa masuk ke Museum Tsunami Aceh yang belum lama diresmikan. Museum ini dibangun sebagai pengingat terhadap bencana tsunami. Desain bangunan ini memang merefleksikan gelombang tsunami.

Museum Tsunami Aceh yang baru saja dibuka.

Bagian dalam museum ini pun dibuat sedemikian rupa dengan lorong gelap sehingga seolah-olah pengunjung memasuki gelombang tsunami. Foto-foto setelah tsunami dan aktivitas kemanusiaan juga banyak dipamerkan di museum ini.

Sebelum meninggalkan Banda Aceh, saya menikmati mie kepiting Aceh di warung langganan saya dulu. Mie ditambah dengan satu ekor kepiting segar, acar, irisan bawang merah, dan cabai rawit terasa sangat nikmat. Harganya pun hanya Rp30 ribu rupiah. Bandingkan dengan harga satu ekor kepiting di Jakarta!

Sebagai buah tangan untuk dibawa pulang,  saya membeli kopi bubuk Solong, seharga Rp75 ribu per kilogram dan dendeng Aceh yang enak sekali.

Senin, 04 Februari 2013

Menyusuri Pantai-pantai Balikpapan


Ketika bulan lalu saya memiliki kesempatan berkunjung ke Balikpapan, saya langsung merencanakan menyusuri pantai-pantai yang ada di Kota Minyak ini. Maklum, kota ini memang terletak di pinggir laut.

Walau saya tahu pantai-pantai di Balikpapan tidak akan seindah di Derawan, misalnya, tapi saya kira tetap saja layak untuk disinggahi. Sebab, setiap lokasi pasti punya nilai tersendiri.

Keesokan sore setelah sampai, saya pun mulai menjelajah pantai. Pantai pertama bisa dikatakan pantai favorit di Balikpapan, yaitu Pantai Melawai. Pantai ini terletak tak jauh dari “jalan minyak” yaitu jalan yang di pinggirnya berdiri berbagai perusahaan minyak. Lokasinya sebelum Pelabuhan Semayang.

Kapal tanker dan pengangkut tongkang batubara adalah pemandangan umum di lepas Pantai Melawai.

Pantai Melawai terletak hanya sekitar 15 menit dari pusat kota. Saya pergi ke pantai ini naik angkot, transportasi umum Balikpapan. Bus-bus besar serta minivan hanya dioperasikan untuk tujuan yang lebih jauh. Ongkos angkot antara Rp2-5 ribu tergantung jarak.

Salah satu pemandangan yang khas di Pantai Melawai (dan pantai-pantai di Balikpapan lainnya) adalah adanya kapal-kapal tanker minyak serta tongkang batubara di kejauhan.

Daya tarik utama Pantai Melawai, saya kira, tidaklah terletak pada pantainya sendiri, karena tidak memiliki pasir pantai untuk bermain. Antara daratan dan air laut pun dipagari sehingga pengunjung sulit untuk mendekati laut.

Pantai Melawai menjadi salah satu objek wisata favorit masyarakat setempat karena pada sore hari terdapat banyak pedagang makanan. Bakso, pecel lele, ikan bakar, nasi goreng dan sebagainya dijajakan, pengunjung menikmati makanannya dengan duduk lesehan. Dan ternyata kebanyakan dari pedagang ini berasal dari Jawa Timur dan Madura.

Pantai berikutnya yang saya datangi adalah Pantai Kemala. Pantai ini jauh lebih bagus dari Pantai Melawai karena memiliki pasir pantai yang halus. Di tepinya terdapat pohon-pohon kelapa. Saat itu pantai sedang ramai pengunjung. Ombaknya yang kecil juga menjadikan pantai ini cukup aman untuk tempat bermain anak-anak.

Pantai Kemala menjelang senja.

Sayangnya, Anda tidak diperbolehkan membawa makanan dan minuman sendiri karena telah ada kafe-kafe dan restoran di pinggir pantai. Bahkan, ada papan pengumuman besar yang menyatakan bahwa bila Anda mengkonsumsi makanan minuman yang membawa sendiri akan terkena denda Rp500 ribu!

Karena enggan bila diharuskan membeli minuman di kafe-kafe tersebut, saya tidak mau berlama-lama di Pantai Kemala. Perjalanan saya lanjutkan ke Pantai Monpera, yang merupakan singkatan dari Monumen Perjuangan Rakyat. Lagi-lagi saya naik angkot menuju ke Monpera dari Kemala, meski sebenarnya jarak antara ketiga pantai tersebut dapat dicapai dengan berjalan kaki.

Ternyata Pantai Monpera kecil, dan juga tidak memiliki pasir pantai. Ketika itu airnya keruh kecoklatan. Pantai ini jadi mirip Pantai Melawai dalam versi yang lebih kecil. Kebanyakan pengunjung bukan datang untuk bermain di pantai melainkan untuk jajan dari para pedagang yang ada di tepi pantai. Saya tidak mau ketinggalan, dan memesan sepiring rujak buah.

Pantai ini diberi nama Monpera, karena memang berada di dekat Monumen Perjuangan Rakyat, di depan Markas Pangdam Tanjung Pura. Monumen tersebut dikelilingi taman yang cukup besar. Beberapa kursi disediakan untuk tempat duduk pengunjung. Lumayan untuk melepas lelah, pikir saya.

Perjalanan berikutnya adalah ke Pantai Manggar. Berbeda dengan ketiga pantai sebelumnya, Pantai Manggar ini agak jauh dari pusat kota. Waktu tempuh dengan angkot sekitar satu jam. Dari pusat kota, saya ternyata juga melewati Bandara Sepinggan, serta dua restoran kepiting terkenal di Balikpapan, yaitu Kenari dan Dandito.

Pemandangan laut dari Pantai Manggar.

Angkot berhenti di jalan menuju pantai sehingga saya masih harus berjalan beberapa puluh meter untuk sampai di gerbang. Ternyata Pantai Manggar ini sangat panjang. Di tepinya berjajar pohon-pohon cemara udang. Pasirnya cokelat, bertekstur halus sehingga nyaman jadi tempat bermain.

Di pinggir pantai terdapat penyewaan ban, pelampung, dan banana boat. Bila perut terasa keroncongan, di lokasi pantai ini juga banyak warung makanan yang menyajikan berbagai menu makanan laut.

Di Pantai Manggar terdapat beberapa operator permainan air seperti banana boat.

Pantai Manggar ini memang cocok untuk lokasi bermain karena pasirnya yang halus, pantainya yang landai, dan ombaknya yang kecil. Sayang, pengunjung di sini masih kurang berpendidikan dan buang sampah sembarangan.

Mungkin karena datang pada hari kerja, suasana Pantai Manggar cenderung sepi. Hanya ada beberapa kelompok wisatawan yang tengah asyik bermain. Karena sepi, justru saya jadi lebih leluasa berfoto. Kebetulan saat itu hujan baru saja reda, langit Balikpapan sedang sangat biru — pemandangan yang jarang ditemui di kota-kota besar di Indonesia. Jadilah saya, suami dan anak berfoto dengan berbagai pose untuk mengabadikan wisata kami di sini.

Selain pantai, beberapa objek wisata di Balikpapan dan sekitarnya antara lain Bukit Bangkirai dan pasar pernak-pernik yang bernama Pasar Kebun Sayur.