Minggu, 16 Desember 2012

Orang Toraja: Kehormatan Pada Seekor Tedong (Kerbau)


Dari sekian banyak etnis yang mendiami wilayah Nusantara, etnis Toraja di Sulawesi Selatan mungkin yang paling gila-gilaan–dari sisi ekonomi–dalam merayakan sebuah pesta adat. Uniknya, pesta kematian pula. Di Toraja, rambu solo yang sejatinya merupakan sebuah upacara pemakaman—kaum bangsawan—itu tak ubahnya sebuah pesta besar.
13556513561772624345
Salah satu prosesi dalam rambu soro (dokumentasi pribadi)
13556518551078752127
Tedong (kerbau) dalam acara rambu solo (dokumentasi pribadi)
Prosesi pemakaman yang lebih pantas disebut pesta itu dihelat selama tiga hari, melibatkan ratusan bahkan ribuan orang (satu kampung), dan menelan biaya—yang bukan main—mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah.
Tingginya jumlah rupiah yang dihabiskan untuk perhelatan rambu solo memang wajar jika dilihat dari meriahnya acara, prosesi adat yang rumit dan kompleks dengan segala ornamen pendukungnya, serta banyaknya jumlah ternak (kerbau dan babi) yang disembelih pada puncak acara.
Tedong dan status sosial
Boleh dibilang, banyaknya jumlah ternak–khususnya kerbau—yang disembelih merupakan penyebab utama melejitnya jumlah rupiah yang dihabiskan dalam perhelatan rambu solo. Bayangkan, pada puncak acara hampir dipastikan ada ratusan ekor kerbau—disebut tedong dalam bahasa Toraja—dan babi yang dijagal. Cukup untuk memberi makan satu kampung.
Jumlah ternak yang dijagal pada puncak perhelatan rambu solo merupakan simbol prestise bagi orang Toraja (keluarga yang ditinggalkan). Semakin banyak kerbau yang disembelih semakin tinggi pula kehormatan keluarga yang ditinggalkan di mata khalayak. Dan konsekwensinya, tentu semakin banyak pula jumlah rupiah yang harus digelontorkan.
Tak heran kalau jumlah ternak yang disembelih kemudian berelasi linier dengan status sosial sebuah keluarga. Karenanya, bagi mereka yang dianggap bangsawan dalam masyarakat Toraja (puang), merupakan aib jika jumlah kerbau yang dijagal biasa-biasa saja, alias tak berbeda dengan orang biasa.
Di antara kerbau-kerbau yang dijagal, yang paling menarik perhatian adalah tedong bonga, kerbau belang (albino) yang harganya selangit itu. Anda tentu terkesiap jika mengetahui bahwa harga seekor tedong bonga mencapai ratusan juta rupiah.
Meskipun harganya selangit, perhelatan rambu solo tak bakal lengkap tanpa pemotongan tedong bonga, mengingat hewan yang satu ini juga merupakan simbol prestise bagi keluarga—bangsawan— yang ditinggalkan. Dengan menyembelihtedong bonga, martabat dan kehormatan keluarga yang ditinggalkan menjadi tegak lagi harum semerbak.
1355651545125726475
Tedong bonga (kerbau belang) seharga 300 juta rupiah (dokumentasi pribadi)
1355651691227861411
Tak hanya seekor tedong bonga yang disembelih (dokumentasi pribadi)
Kamis lalu (16/12), saya berpelancong ke Rantepao, Toraja Utara, dan menyaksikan langsung perhelatan rambu solo seorang bangsawan. Saya terkesiap saat mengetahui bahwa harga tedong bonga yang akan dijagal dalam acara itu sekitar 300 juta rupaih. Bukan main, nominal sebanyak itu adalah sepertiga total rapelan tunjangan remunerasi semua pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Toraja Utara selama setahun.
Dalam logika kita yang bukan orang Toraja tentu terbesit pikiran: apa tidak salah, seekor kerbau  dihargai semahal itu, setara harga sebuah mobil kijang Innova? Tapi, begitulah orang Toraja, tak menjadi soal uang ratusan juta hanya berakhir sebagai onggokan berkilo-kilo daging (itupun tak dimakan sendiri) seiiring putusnya lehertedong bonga di tangan tukang jagal saat puncak acara rambu sola. Dalam hal yang satu ini, mereka milihat makna hidup secara berbeda dengan kita yang bukan orang Toraja.
Minim dampak ekonomi
Perhelatan rambu solo yang menelan biaya selangit berlangsung tidak hanya satu kali dalam setahun. Karena dalam setahun bukan hanya satu orang yang dimakamkan. Jika demikian, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya uang yang habis dalam setahun hanya untuk perhelatan rambu solo. Teman-teman BPS Toraja Utara pernah mencoba menaksir besarnya uang yang dihabiskan masyarakat Toraja untuk perhelatan segala macam pesta (utamannya untuk rambu solo) dalam setahun. Bukan main, hasilnya sungguh fantastis: mencapai ratusan miliar.
Menurut pengakuan teman-teman BPS yang asli Toraja, biaya perhelatan berbagai macam pesta itu, termasuk rambu solo, hampir semuanya bersumber dari uang yang dikirimkan oleh anggota keluarga yang telah sukses di perantauan. Arus uang masuk ke Toraja memang dahsyat. Tidak heran, kalau hampir semua bank—kecuali BCA—membuka cabang di kota kecil seperti Rantepao (ibu kota Kabupaten Toraja Utara). Bahkan, Bank Papua pun tak mau ketinggalan membuka cabang di Rantepao untuk menampung dana yang ditransfer oleh orang-orang Toraja perantauan yang sukses di Papua. Yang konon kabarnya, nilainya mencapai ratusan miliar rupiah dalam setahun.
Sayangnya, arus uang yang jumlahnya fantastis itu sebagian besar habis untuk berbagai rupa pesta adat. Seolah menguap begitu saja bersamaan dengan rebahnya ratusan tedong di tangan tukang jagal, serta meriah dan gegap gempitanya pesta. Sama sekali minim dampak ekonomi. Data BPS Kabupaten Toraja Utara, misalnya, menunjukkan bahwa perekonomian daerah itu cenderung konsumtif dan mengandalkan aliran dana dari luar daerah (perantau). Sisi produksi tak begitu bergairah. Tidak heran, meskipun Toraja dikarunia alam yang subur, sebagian besar kebutuhan penduduk daerah itu harus didatangkan (diimpor) dari kabupaten tetangga seperti Palopo. Mulai dari beras, sayur-sayuran, daging ayam, telur, pakan ternak, hingga kerbau-kerbau yang ditebas saat upacara.
Di tengah meredupnya sektor pariwisata Toraja sejak tahun 2009, kenyataan di atas sudah sepantasnya diperhatikan secara serius oleh pemeritah daerah. Tentu dengan tidak mengesampingkan bahwa rambu solo dan berbagai pesta adat lainnya merupakan kearifan lokal Toraja dan kekayaan budaya Nusantara yang harus dilestarikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar